Fakultas Hukum UNPAR Bersama Dengan Vox Point Indonesia DPW Kota Bandung Menyelenggarakan Webinar Nasional

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) bersama dengan Vox Populi Institute (Point) Indonesia DPW Kota Bandung menyelenggarakan Webinar Nasional bertema “Menyelami Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Implikasinya” pada hari Sabtu, 26 Maret 2022. Acara yang diselenggarakan secara daring ini diawali dengan kata sambutan Dekan Fakultas Hukum UNPAR Dr.iur Liona N. Supriatna, S.H., M.Hum dan Ketua Vox Point Indonesia DPW Kota Bandung MS. Andra Wahyu H, S.H.

            Webinar ini menghadirkan narasumber yang berasal dari berbagai kalangan yakni Ratna Susianawati, S.H, M.H. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan yang pada hari tersebut mewakili kehadiran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga. Narasumber dari unsur legislatif dihadiri oleh Diah Pitaloka, S.sos., M.Si. yang merupakan wakil ketua Komisi VIII DPR RI, Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan, dan Dr. Niken Savitri, S.H., MCL. Dosen Fakultas Hukum UNPAR serta dipandu oleh Dr.iur.Asmin Fransiska, S.H., LL.M. Dekan Fakultas Hukum UNIKA Atmajaya Jakarta.

            Dalam paparannya Ratna Susianawati mengatakan bahwa pemerintah sangat serius terkait perlunya regulasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan pemerintah juga mendukung bersama dengan DPR terkait RUU TPKS untuk memastikan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan seksual. Dimana pemerintah melalui Kementerian PPPA telah menyusun Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) untuk melengkapi berbagai hal yang sudah disiapkan, yakni rancang bangun, konsep pemikiran yang sudah disiapkan oleh DPR RI untuk dapat saling melengkapi kekosongan agar menjawab dinamika di lapangan. Dalam akhir pemaparannya ia menyatakan bahwa marwah dan semangat pemerintah dengan DPR RI adalah sama untuk memastikan lingkungan yang bebas dari kekerasan, perlindungan pada korban, penegakan hukum dan pendampingan hukum. Ia juga menambahkan bahwa pencegahan terhadap kekerasan seksual pada perempuan pastinya memerlukan kolaborasi dengan masyarakat baik dari tingkat pusat dan daerah.

            Diah Pitaloka juga menyampaikan bahwa fraksi-fraksi di DPR masih memiliki perspektif yang sangat luas dan belum mengerucut pada saat menyusun pasal-pasal tersebut bersama, ia juga membenarkan bahwa pemerintah melalui Kementerian PPPA sudah menyampaikan pandangan berupa DIM yang mana ini merupakan bentuk dukungan penuh dari pemerintah disertai dengan perbaikan layanan publik pemerintah seperti mulai melibatkan kementerian sosial dalam rehabilitasi korban. Ia juga berharap implikasi dari RUU TPKS ini nantinya akan memberikan dampak yang baik, yang tidak hanya pendekatan secara normatif, namun juga pendekatan publik yang lebih bagus dan sensitif terhadap penanganan korban dan berharap peran penegak hukum lebih mampu menangani masalah culture masyarakat kita dalam eksekusi pasal-pasal TPKS tersebut nantinya mengingat posisi korban sangat tidak diuntungkan dalam relasi sosial masyarakat.

     Paparan dari Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan dalam catatan tahunan Komnas Perempuan 2021 yang dilansir per 7 Maret 2022 terlihat bahwa meski sempat turun di tahun 2020 tetapi di tahun 2021 meningkat lebih 338.000 kasus dimana sebagian besar kasus berbasis gender dan pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan naik 80% dan kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kasus di ruang personal. Artinya pelaku dan korban dalam relasi yang cukup intim seperti suami, keluarga, dan pacar. Kecenderungan lain kekerasan di dunia cyber yang meningkat dua kali lipat di tahun 2021. Menurutnya dari kebanyakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, korban tidak melaporkan dan jika pun melapor korban akan berhadapan dengan resiko kriminalisasi dimana proses hukum yang sangat menguras energi sementara daya dukung yang ada tidak sebanyak dan secepat pelaporannya.

Sebagai narasumber penutup dalam Webinar ini, Niken Savitri memaparkan pandagannya mengenai urgensi RUU TPKS tersebut antara lain angka kekerasan seksual semakin meningkat dar hari ke hari bahkan pada faktanya 1 dari 3 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual (BPS), namun belum ada aturan yang berorientasi pada korban juga belum ada aturan yang secara komprehensif mengatur mengenai kekerasan seksual dengan berbagai jenisnya. Ia juga memaparkan bahwa ada sesuatu yang esensial secara hukum dalam RUU TPKS tersebut di antaranya meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku dimana berbeda dengan undang-undang lainnya yang menekankan pada adanya sanksi yang berat/tajam, oleh sebab itu RUU TPKS ini sangat urgent karena KUHP dan RKUHP tidak dapat mewadahi kebutuhan khusus korban akan perlindungan dan pemulihan.

            Dalam sesi akhir webinar ini para peserta diberikan juga kesempatan untuk menuliskan pertanyaan melalui kolom chat kepada para narasumber dan diakhiri dengan penyerahaan E-Sertifikat secara simbolis kepada para narasumber sebagai bentuk terima kasih atas kesediaan mereka hadir dan memberikan pemaparan mengenai tema webinar tersebut melalui ruang virtual.

Penulis : Chrisse Calcaria Brahmana

X