
Bandung, 20 April 2022, Individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan harus segera diberikan berbagai bentuk dukungan, layanan dan program perlindungan hukum yang melibatkan para ahli di berbagai bidang. Diperlukan adanya pemahaman yang lebih luas dan pemeriksaan yang memadai agar mereka mendapatkan akses terhadap keadilan. Demikian hasil seruan webinar II FH UNPAR-HOME PBS yang berjudul “Praktik Pendampingan Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan” pada 19 Maret 2022. Webinar yang membahas berbagai pengalaman praktik pendampingan hukum bagi individu dengan intelektual dan perkembangan yang melibatkan berbagai aktor ini merupakan kelanjutan dari webinar sebelumnya mengenai “Urgensi Perlindungan Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan”.
Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan di dalam sambutannya bahwa banyak sekali masalah yang perlu dihadapi dari individu yang berkebutuhan khusus. “Disabilitas bukanlah suatu musibah. Seluruh pihak seharusnya melindungi hak-hak individu dengan disabilitas sehingga mereka dapat terlindungi dari segala bentuk diskriminasi, penelantaran dan perlakuan yang tidak adil.”, ujarnya.
Founder dari Home PBS, Ignatius Darta Ranu Wijaya, S.Sos., M.Pd, mengakui bahwa FH UNPAR merupakan universitas pertama yang berbicara mengenai isu disabilitas intelektual dan perkembangan “Persoalan individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan yang berhadapan dengan hukum masih menjadi tantangan di Indonesia. isu ini sendiri masih baru dan belum banyak yang mendiskusikan.”lanjutnya.
“Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mendampingi individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan.” ujar M Jamal Al-Bakri, S.Psi.,M.M., akademisi psikolog klinis dewasa Politeknik Negeri Jakarta. “Sayangnya dalam praktik sering tidak diakomodasi kebutuhan khususnya. Hal ini mengingat karakteristik disabilitas intelektual dan perkembangan yang tidak tampak dan masih belum dikenal.”tambahnya.

Menanggapi hal ini Direktur Reserse Kriminal Umum POLDA JABAR, Kombes Pol K. Yani Sudarto,S.I.K.,MSi. menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di dalam hukum, sehingga bagi disabilitas intelektual dan perkembangan perlu optimalisasi alat bukti, dan membutuhkan fasilitas agar individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan bisa setara di hadapan hukum. “Untuk pelaku dengan disabilitas intelektual dan perkembangan, kami akan berdiskusi dengan ahli dan mengedepankan keadilan restoratif, sehingga semua bisa menerima dengan indah” tambahnya.
“Tentunya peran psikolog dalam mengidentifikasi individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan adalah esensial. Di samping itu peran pendamping juga diperlukan“ ujar Dra. Yusi Hariyumanti HS,M.Psi,MM selaku Biro Sumber Daya Manusia di POLDA JABAR. Ia mengatakan bahwa dengan peran ahli, rata-rata individu dengan kasus disabilitas dengan intelektual dan perkembangan sebagai korban dan pelaku sudah dapat tertangani dengan baik.
Sementara Maria Ulfah,S.H.,M.Hum, selaku dosen FH UNPAR dan peneliti menemukan bahwa dari setidaknya 15 putusan pidana yang berkaitan dengan individu dengan disabilitas intelektual pada tahun 2016-2022,mayoritas tidak menggunakan Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP). “Dalam kaitannya sebagai pelaku tindak pidana, hanya 1 dari 4 yang menggunakan VeRP, sementara dalam kaitannya sebagai korban tindak pidana hanya 1 dari 11 kasus yang menggunakan VeRP” jelasnya. “Padahal peran VeRP ini penting untuk menentukan apakah seseorang sebagai penyandang disabilitas intelektual dan perkembangan.” tambahnya. Dalam salah contoh kasus, permohonan pemeriksaan sempat ditolak oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan bahwa pelaku tampak baik-baik saja. Hal ini menyimpulkan bahwa isu ini masih belum banyak dipahami.
“Untuk menuju penegakan dan pendampingan hukum yang humanis diperlukan adanya perubahan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.” jelas R. Ismadi Santoso Bekti, S.H., M.H, dosen FH UNPAR, yang sekaligus praktisi hukum. “Menurut saya, kartu penyandang disabilitas (KPD) menjadi penting dikarenakan penyandang disabilitas intelektual dan perkembangan ini tidak terlihat secara kasat mata. Jika ada kartu ini, maka permasalahan kebutuhan pemeriksaan kesehatan yang membuktikan disabilitas seseorang akan teratasi karena sudah dicantumkan di kartu tersebut.” ujarnya.
Oleh karenanya, FH UNPAR dan Home PBS merasa perlu untuk melanjutkan diskusi ini melalui advokasi bersama dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan. “Akan ada rangkaian lainnya, baik berupa webinar, survey dan workshop” tutup founder dari Home PBS.
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) dan HOME PBS
Kontak Person:
Ignatius Darta Ranu Wijaya, S.Sos., M.Pd (08179933112)
Adrianus Adityo Vito Ramon,S.H.,LL.M. (0818834839)