Pada 7 Maret 2025, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR) menjadi tuan rumah diskusi publik bertajuk “Mencari Format Hingga Menakar Kesiapan dalam Komutasi Pidana Mati dalam Perspektif HAM”. Diskusi yang berlangsung di Ruang 2305 Gedung 2 FH UNPAR ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, yaitu Bapak Afif Abdul Qoyim, S.H., dari YLBHI, Ibu Gina Sabrina, S.H., M.H. dari PBHI, serta akademisi HAM dan hukum pidana, yakni Ibu Dyan Francisca Dumari Sitanggang, S.H., M.H. dan Ibu Yunita, S.H., LL.M, membahas mengenai berbagai aspek hukuman mati, termasuk tantangan dalam sistem peradilan, keadilan bagi terpidana, serta mekanisme komutasi hukuman mati yang kini diatur dalam KUHP Baru.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”) akan segera dimulai pada 2 Januari 2026 mendatang. Materi muatan KUHP Baru tersebut membawa berbagai perubahan, termasuk ketentuan yang melimitasi hukuman pidana mati dan adanya ketentuan komutasi pidana mati ke penjara seumur hidup. Dengan perubahan tersebut, pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, namun menjadi pidana alternatif. Hal ini menunjukkan kemajuan yang selaras dengan tren global untuk menghapus pidana mati meskipun belum sepenuhnya.
Dalam KUHP Baru, pidana mati adalah pidana khusus yang ancamannya diberlakukan secara alternatif dengan mekanisme masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa, keinginan memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana matinya dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Mekanisme ini kemudian didengungkan oleh Pemerintah sebagai konsep “Indonesia Way” yang mengakomodir kelompok abolisionis dan retensionis dalam banyak kesempatan, bahkan hingga di Forum PBB Jenewa.
Namun, permasalahan muncul dalam proses penyusunan peraturan pelaksana terkait komutasi ini. Berdasarkan penelusuran Koalisi Masyarakat Sipil, ditemukan penafsiran baru oleh tim penyusun (PBHI) bahwa penjatuhan pidana mati tidak harus diikuti dengan masa percobaan. Dengan cara menafsirkan yang demikian, maka Hakim dipandang berwenang untuk menjatuhkan pidana mati tanpa masa percobaan sepuluh tahun. Kendati belum disahkan secara resmi, namun penafsiran tersebut merupakan penafsiran yang bertentangan dengan tujuan pembaharuan dari KUHP Baru, secara eksplisit dalam hal ini prinsip lex favor reo yang juga seharusnya diterapkan terhadap penerapan komutasi ini. Selain bertentangan dengan politik hukum pembaharuan hukum pidana, penafsiran yang berbeda tersebut juga bertentangan dengan prinsip HAM yang akan semakin berdampak terhadap 559 terpidana mati yang saat ini tengah menjalani masa tunggu eksekusi. Bahkan, mayoritas diantaranya telah lebih dari sepuluh tahun menjalani masa tunggu eksekusi pidana mati. Ketidakpastian ini berpotensi terus berlanjut seiring dengan disparitas tafsir antara materi KUHP Baru dan rancangan peraturan pelaksana yang tengah digarap oleh pemerintah.
Selama diskusi, para narasumber menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan hukuman mati di Indonesia, khususnya terkait dengan adanya perubahan melalui KUHP Baru. Salah satunya adalah keterbatasan bantuan hukum yang sering kali membuat terdakwa tidak mendapatkan pembelaan yang layak. Selain itu, masih terdapat kasus di mana proses peradilan tidak memenuhi standar fair trial, bahkan terjadi dugaan penyiksaan dalam interogasi terhadap tersangka yang kemudian didakwa dengan hukuman mati. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dalam menjatuhkan hukuman mati dari para peserta diskusi.
Beberapa peserta diskusi dalam kegiatan ini mempertanyakan kepastian hukum dalam proses komutasi serta peran Lembaga Pemasyarakatan dalam menilai perilaku terpidana selama masa percobaan. Selain itu, muncul gagasan agar proses komutasi dibuat lebih transparan dan akuntabel agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi atau ketidakadilan.
“Per 7 Maret 2025, akan ada 596 yang mendapat kesempatan untuk perubahan pidana mati. Sekalipun aturan ini baik, bisa juga muncul celah dalam hal penilaian dimana terdapat potensi korupsi (misalnya jual beli penilaian bagi terpidana mati)”
– Gina Sabrina (Sekjen PBHI Nasional) –
Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa peraturan pelaksanaan komutasi pidana mati harus dirancang dengan lebih jelas dan adil. Keputusan untuk mengubah hukuman mati menjadi pidana seumur hidup harus berdasarkan mekanisme yang objektif dan tidak hanya bergantung pada kebijakan subjektif pihak tertentu. Para peserta juga didorong untuk terus mengawal isu ini melalui berbagai platform dan menuangkan aspirasinya melalui Kawal KUHP.
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan sistem hukum di Indonesia semakin berorientasi pada keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, serta dapat memberikan kepastian hukum bagi terpidana yang berada dalam daftar eksekusi.
Penulis : Ni Kadek Atriya Karini